Tuesday 9 September 2008

Tunggun Karang

Sebagaimana lazimnya setiap rumah dari penduduk Bali yang beragama Hindu, semiskin-miskinnya mereka akan berusaha memiliki tempat sembahyang yang disebut sanggah atau pemerajan dan bangunan penjaga rumah secara spiritual yang disebut Tunggun Karang. Bagi umat hindu di Bali, Tunggun Karang ini merupakan hal yang sangat penting fungsinya untuk menjaga keselamatan seluruh isi rumah dari kekuatan-kekuatan secara mgis maupun dari pencuri atau orang yang berkemauan tidak baik secara fisik.
Letak Tunggun Karang sebaiknya di sebelah barat laut pekarangan rumah yaitu sudut barat laut pekarangan. Yang berkedudukan di sana adalah Bhatara Kala. Di dalam bahasa Sansekerta Kala berarti energi, dan juga berarti waktu. Maka dalam kaitan Tunggun Karang Kala ini lebih dekat dengan arti energi, yaitu kekuatan yang menjaga keselamatan seluruh keluarga. Dalam mitologinya disebutkan Bhatara Kala yang selalu merusak dan mengambil korban berupa bencana, oleh Bhatara Siwa dibuat menjadi somia, yaitu jinak dan tenang dan kemudian diperintahkan agar bertempat tinggal di pekarangan rumah di sudut barat laut, ikut menjaga keselamatan manusia yang tetap ingat kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan. Dengan demikian kekuatan alam semesta inilah, yang dilukiskan dengan Bhatara Kala, kekuatan alam semesta yang tidak diatur akan menimbulkan bencana. Tetapi Bhatara Siwa menenangkan kekuatan tersebut dan dianugerahkan kepada manusia agar mendapat keselamatan.

Saturday 6 September 2008

Pratima

Agama Hindu di Pulau Bali banyak sekali menggunakan patung-patung perwujudan yang disebut Pratima. Pratima ini biasanya berukuran kecil terbuat dari kayu cendana atau kayu-kayu yang harum. Terkadang Pratima ini dihias dengan emas atau permata dan dikeramatkan sedemikian rupa sehingga hanya bisa dilihat pada saat upacara. Pratima ini menggunakan perwujudan Ida Bhatara dan berfungsi sebagai alat konsentrasi perasaan dan pikiran supaya lebih mantap. Ajaran Bhakti Marga yang sangat berpengaruh di Bali mengutamakan pemujaan yang berwujud pencurahan rasa bhakti yang tidak lain adalah rasa cinta kasih dan penyerahan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Getaran bhakti ini berupa obyek Pratima dan palinggihnya. Simbol ini sangat penting bagi penganut bhakti marga, meskipun secara filosofis mereka tahu bahwa Ida Sang Hyang Widhi ada di mana-mana, tidak bisa dilihat, tidak berwujud, namun untuk memantapkan pemusatan perasaan dan pikirannya, mereka membuat pelinggih-pelinggih seolah-olah di sanalah Ida Sang Hyang Widhi bertahta.

Mereka membuat Pratima seolah-olah Pratima itulah perwujudan beliau. Simbol atau perwujudan sangat penting bagi seorang yang menjalankan bhakti marga, meskipun secara fisik Pratima tidak lebih dari kayu, namun para intelektual pun memerlukan perwujudan sebagai tanda bhaktinya.

Kini umat Hindu mulai merasa tidak aman karena Pratima ini menjadi incaran maling. Pratima ini diincar karena harganya cukup mahal sebagai barang antic, dijual kepada wisatawan. Kalaupun malingnya tertangkap, paling banyak dia dikenakan hukuman 3 bulan potong masa tahanan. Namun, akibat yang ditimbulkan terhadap desa yang memiliki Pratima itu sangat besar. Desa tersebut wajib melaksanakan upacara balik sumpah yang biayanya cukup mahal.

Tuesday 2 September 2008

Umbul-umbul dan kober

Umbul- umbul adalah salah satu perlengkapan upacara yang dipergunakan di pura-pura pada waktu piodalan atau upacara lainnya. Umbul-umbul mempunyai mitologi sendiri yang mengambil cerita Arjuna Pramada, yang menceritakan Prabhu Yudistira bermaksud membuat istana yang indah maka disuruhlah adik-adiknya mencari contoh istana yang bisa ditiru. Dalam diskusi tersebut Arjuna berkata bahwa konon istana yang sangat indah yaitu istana Alengka, tempat Dewi Sita ditawan oleh Rahwana. Di istana ini konon matahari selalu bersinar lembut, angin yang datang setelah sampai di istana ini menjadi sepoi-sepoi. Akhirnya Yudistira mengutus Arjuna untuk pergi ke sana. Arjuna meminta bantuan Sri Krisna untuk mengantarkannya dalam perjalanan menuju Alengka.

Setelah sampai di tepi pantai maka dilihatlah jembatan yang dulu dibuat oleh bala tentara kera dari Sri Rama. Krisna dan Arjuna tertegun, termenung dengan pikirannya masing-masing setelah melihat jembatan itu. Sri Krisna terkenang pada penjelmaannya dahulu pada waktu beliau berinkarnasi sebagai Sri Rama. Beliau teringat serta rindu pada kesetiaan Hanuman. Kerinduan ini menyebabkan Hanuman yang sedang bertapa tertarik oleh kerinduan Sri Krisna dan serta merta datang melompat ke hadapan Sri Krisna.

Di lain pihak Arjuna berkata kepada Sri Krisna,”Kanda, saya tidak percaya pada kehebatan Hanuman, Sugriwa, Anila, dan para kera lainnya yang dikatakan begitu sakti. Namun, mengapa membuat jembatan seperti ini saja memerlukan waktu berhari-hari. Saya bisa membuatnya dalam sekejap.”

Kata-kata Arjuna ini didengar oleh Hanuman yang kemudian berkata,”Ya, Arjuna. Bala tentara Rama banyak sekali, sebab itu kami membuat jembatan yang kokoh. “

Arjuna menjawab,”Ya, saya bisa membuat jembatan yang kokoh dalam waktu sekejap. Barangsiapa bisa mematahkan jembatan ini akan saya sembah.”

”Kalau begitu cobalah!”kata Hanuman.

Arjuna mengambil panah naganya dan begitu dilontarkan jadilah sebuah jembatan yang kokoh dan sejajar dengan jembatan yang telah ada. Hanuman melompat ke atas jembatan, dan begitu menjejakkan kakinya robohlah jembatan itu. Sri Krisna melihat kejadian itu lalu mengambil panah dan melepaskannya sehingga jembatan yang roboh tadi kembali seperti semula. Hanuman mencoba lagi mematahkannya namun gagal. Sadarlah Hanuman bahwa yang dihadapinya itu adalah junjungannya, Sri Rama, yang lahir kembali menjadi Sri Krisna. Hanuman mendekati Sri Krisna hendak menyembah beliau. Sebaliknya Arjuna mendekati Hanuman untuk menyembahnya, karena Hanuman telah berhasil merobohkan jembatan yang dibuatnya. Hanuman menolaknya dan berkata bahwa manusia tidak boleh menyembah binatang, karena waktu itu Hanuman berwujud kera. Arjuna berkeras untuk mnyembah,”Saya adalah ksatria Pandawa, saya tidak boleh ingkar pada kata-kata saya’”

Perdebatan ini akhirnya ditengahi oleh Sri Krisna, beliau menasehati Arjuna agar jangan merasa diri sakti, bahwa di dunia ini tidak ada yang lebih sakti daripada Tuhan yang Maha Sakti. Namun agar hutang sembah Arjuna bisa dilunasi, maka dikutuklah jembatan yang dibuat Arjuna itu agar menjadi Umbul-umbul, dengan pesan agar manusia jangan takabur seperti Arjuna. Maka dimanapun ada parhyangan atau palinggih Dewa, di depannya dipancangkan Umbul-umbul dengan gambar naga (simbol panah naga Arjuna) dan kober atau bendera dengan lambang wanara (kera). Dengan demikian orang akan selalu ingat dengan dengan peristiwa Arjuna dan Hanuman, dan dengan menyembah di hadapan parhyangan maka Umbul-umbul dan bendera Hanuman pun ikut tersembah sebagai penebus janji bagi Arjuna.

Saturday 30 August 2008

Penjor

Pada zaman dahulu penjor dipasang kalau ada upacara keagamaan. Seperti yang sudah diketahui, ada bermacam-macam jenis penjor, antara lain penjor caru, penjor biukukung, penjor Galungan, dan sebagainya. Yang paling banyak digunakan karena mempunyai dekorasi yang indah dan beragam adalah penjor Galungan.

Akhir-akhir ini setiap upacara apa saja yang dibuat, mulai dari pembukaan penataran, penyambutan tamu, hari ulang tahun kemerdekaan, peresmian suatu kantor, dan sebagainya, tidak pernah ketinggalan memakai penjor sebagai hiasan.

Dalam lontar Jayakasunu disebutkan bahwa penjor itu melambangkan Gunung Agung. Di dalam lontar Basuki Stawa disebutkan bahwa gunung (giri) adalah naga raja, yang tidak lain adalah Naga Basuki. Dalam mitologi, dasar Gunung Agung dikenal sebagai linggih Sang Hyang Naga Basuki. Dari kata Basuki inilah timbul nama Besakih. Dikatakan bahwa ekor naga itu ada di puncaknya gunung dan kepalanya terletak di laut. Dari ekornya inilah Sang Hyang Naga Basuki memberikan penghidupan kepada manusia.

Sementara dalam lontar Samudra Stawa disebutkan bahwa lautan adalah naga raja. Demikian pula dalam Ananta Bhoga Stawa, dimana beliau dikatakan memikul alam kita ini. Sang Hyang Ananta Bhoga yang tidak lain adalah lapisan kulit bumi, merupakan tempat terdapatnya bhoga (sandang, pangan, papan) yang tidak habis-habisnya. Dalam mitologi yang ada di masyarakat, dikenal pula bahwa Bedawang Nala dililit oleh naga, dan apabila Bedawang Nala ini sampai bergerak dan naga yang melilitnya terlena, maka terjadilah gempa.

Dalam lontar Siwagama, Sang Hyang Trimurti, dalam usaha beliau membantu manusia, agar tanah, air, dan udara ini memberi kesejahteraan, maka Bhatara Brahma masuk ke bumi menjadi Ananta Bhoga, Bhatara Wisnu terjun ke air menjadi Naga Basuki, dan Bhatara Siwa terbang ke udara menjadi Naga Taksaka. Sebab itulah Naga Taksaka selalu dilukiskan memakai sayap. Naga Basuki, dalam Basuki Stawa dilukiskan bahwa ekornya berada di puncaak gunung dan kepalanya di laut, yang merupakan simbol bahwa gunung adalah waduk penyimpanan air yang kemudian menjadi sungai dan akhirnya bermuara di laut.

Itulah mitologi dari penjor Galungan yang dihias sedemikian rupa, merupakan simbol naga. Sanggah yang ditempatkan pada bambu penjor memakai pelepah kelapa adalah simbol leher dan kepala Naga Taksaka. Gembrong yang dibuat dari janur atau ambu menggambarkan rambut naga. Sampian penjor dengan porosannya, yang berbentuk melengkung, adalah ekor Naga Basuki (simbol gunung). Sementara hiasan penjor yang terdiri dari gantung-gantungan padi, ketela, jagung, kain, dan sebagainya, adalah simbol bulu Naga Ananta Bhoga sebagai tempat tumbuhnya sandang dan pangan.

Fungsi penjor ini adalah sebagai ucapan terima kasih ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah mengutus Sang Hyang Tri Murrti untuk menolong umat manusia dari kelaparan dan bencana. Penjor upacara dengan tanda-tanda lengkap seperti di atas tidak boleh digunakan kecuali untuk upacara. Sedangkan pepenjoran (penjor hiasan) hendaknya jangan memakai gantung-gantungan hasil bumi, sanggah, dan sampian penjor yang berisi porosan.

Ratu Gede Barong Landung

Jro Gde:

Delod Tunduh Abian SemaL

Mula kunyit di sempidi

Mapunduh paturu lengar

Mara ngajengit tusing magigi

Jro Luh:

Ngempug kuud caratan diwang

Ngempug kuud caratan diwang

Meli bulih tuah ji talen

Beli suud nyaratang tiang

Beli suud nyaratang tiang

Kemu alih suba elenan

Penggalan gending bebarongan tersebut biasa dinyanyikan oleh dua pemundut Barong Landung saat ngelawang berkeliling desa. Umat menurunkan sasuhunan berupa Barong Landung tersebut dari pura untuk menari di sepanjang jalan desa dengan harapan tarian itu akan menimbulkan energi gaib, semacam tenaga baru, seperti yang dilakukan Dewa Siwa dengan tarian tandawa-nya untuk mengembalikan roh kehidupan yang diambil oleh para bebutan.

Barong Landung adalah pralingga, sekaligus perisai bagi desa-desa yang terancam kegeringan. Bahkan di banyak tempat, Barong Landung dipuja sebagai simbol sejarah yang sangat kelam di masa lalu. Kisah yang bersumber ketika Sri Jaya Pangus, raja Bali dari dinasti Warmadewa, kerajaannya berpusat di Panarojan, tiga kilometer di sebelah utara Kintamani. Sri Jaya Pangus dituduh telah melanggar adat yang sangat ditabukan saat itu, yakni telah dengan berani mengawini putri Cina yang elok bernama Kang Cing Wei. Meski tidak mendapatkan berkat dari pendeta kerajaan, Mpu Siwa Gama, sang raja tetap ngotot tidak mau mundur. Akibatnya, sang pendeta marah, lalu menciptakan hujan terus menerus, hingga seluruh kerajaan tenggelam.

Dengan berat hati sang raja memindahkan kerajaannya ke tempat lain, kini dikenal dengan nama Balingkang (Bali + Kang), dan raja kemudian dijuluki oleh rakyatnya sebagai Dalem Balingkang. Sayang, karena lama mereka tidak mempunyai keturunan, raja pun pergi ke Gunung Batur, memohon kepada dewa di sana agar dianugerahi anak. Namun celakanya, dalam perjalanannya ia bertemu dengan Dewi Danu yang jelita. Ia pun terpikat, kawin, dan melahirkan seorang anak lelaki yang sangat kesohor hingga kini, Maya Danawa.

Sementara itu, Kang Cing Wei yang lama menunggu suaminya pulang, mulai gelisah, Ia bertekad menyusul ke Gunung Batur. Namun di sana, di tengah hutan belantara yang menawan, iapun terkejut manakala menemukan suaminya telah menjadi milik Dewi Danu. Ketiganya lalu terlibat pertengkaran sengit.

Dewi Danu dengan marah berapi-api menuduh sang raja telah membohongi dirinya dengan mengaku sebelumnya sebagai perjaka. Dengan kekuatan gaibnya, Dalem Balingkang dan Kang Cing Wei dilenyapkan dari muka bumi ini. Oleh rakyat yang mencintainya, kedua suami istri -- Dalem Balingkang dan Kang Cing Wei -- itu lalu dibuatkan patung yang dikenal dengan nama Stasura dan Bhati Mandul. Patung inilah kemudian berkembang menjadi Barong Landung.

Perkawinan Budaya

Tapi Barong Landung ternyata lebih dari sekadar kisah sejarah. Ia bukan saja perkawinan lahiriah, tetapi juga budaya. Pernik-pernik budaya Cina seperti pis bolong, patra cina, barong sae, telah lama dikawinkan dengan budaya Bali, bahkan dalam bidang filsafat telah pula melahirkan paham Siwa Budha yang terus memperkaya tradisi agama Hindu sampai sekarang di Bali.

Juga, Barong Landung bukanlah sekadar penghias pura, ia adalah duwe dengan segala perwujudannya yang sangat keramat. Ia dibuat pada dewasa ayu kilang-kilung, dari kayu bertuah seperti pule, jaran, waruh teluh, kepah, kapas, dan "dihidupkan" dengan ritual prayascita serta di-plaspas untuk menghapuskan papa klesa secara sekala niskala. Di sini, ia pun diberi pedagingan berupa perak, emas, dan tembaga, juga pudi mirah (sejenis permata) yang dipasangkan di ubun-ubun lengkap dengan rerajahan-nya -- ang, ung, dan mang.

Setelah seluruh bagian tubuhnya disatukan dalam upakara masupati yang dipermaklumkan oleh sulinggih, pemangku, maupun sangging ke hadapan Dewa Surya, Siwa, dan Sapu Jagat, Barong Landung lalu dibawa ke tengah kuburan. Di situ, di tengah kegelapan malam kajeng kliwon, pemundut harus duduk di atas tiga tengkorak manusia sambil meneguhkan hatinya untuk menerima ritual yang paling mengguncangkan, yaitu masuci dan ngerehin.

Biasanya, jika Barong Landung ini sudah kalinggihin, akan ada pertanda jatuhnya kilatan cahaya gaib ke tubuh pemundut hingga ia kesurupan, dan Barong Landung pun menjadi terguncang-guncang tanpa kendali. Jika hal ini terjadi, maka Barong Landung telah dianggap "hidup" dan pantas diberi gelar Jro Gde untuk barong laki-lakinya dan Jro Luh untuk wanitanya.

Jro Gde memiliki tubuh hitam, rambut lurus lebat, mata sipit, gigi jongos, dan memakai keris. Sedangkan Jro Luh bertubuh ramping, putih seperti layaknya wanita Cina, dan memakai kebaya Cina. Kedua tangan kiri barong ini ditekuk ke pinggang, yang oleh pengamat kebatinan diyakini sebagai sikap pengendalian diri, mengingat kiri sama artinya dengan pengiwa. Lawan pengiwa adalah penengen, tangan kanan, yang sengaja dibuat lurus sebagaimana jalan kebenaran.

Sejarah Munculnya Barong Landung

Namun, kapan sesungguhnya Barong Landung tersebut muncul? Ini yang masih banyak dipertanyakan. Pada pemerintahan Dalem Waturenggong, abad ke-16, seni dan budaya Bali telah mencapai puncaknya. Kala itu telah diciptakannya relief Boma, yang kemudian menjadi tapel Barong Ket. Di samping itu pula terdapat tulisan Banaspati dan Calonarang, keduanya menunjuk pada pengertian Barong. Mungkinkah Barong Landung juga diciptakan pada masa ini?

Yang pasti, kemampuan manusia Bali dalam membuat simbol-simbol sudah ada sejak zaman dulu, seperti simbol bade, meru, pratima, rerajahan, warna-warna sakral, banten, sikap tubuh dalam gambar wayang, dan sebagainya. Dalam proses berkarya, biasanya untuk mengagumkan sesuatu, mereka, terutama para undagi, kreator, atau senimannya, sering mewujudkan pujaannya itu jauh lebih besar dari dirinya. Ini semata-mata untuk menunjukkan betapa besar kekuasaan Tuhan, dan betapa kecil dirinya. Dalam Barong Landung ini misalnya, undagi sengaja membuat wujud yang sangat menyeramkan dengan harapan dapat mengimbangi kedahsyatan roh-roh jahat yang sering mengganggu kehidupan di desa-desa.

Menurut Pan Putu Budhiartini dalam bukunya "Rangda dan Barong, Unsur Dualistik, Mengungkap Asal-asal Umat Manusia", Barong berasal dari Tatwa Kanda Pat Bhuta, tepatnya adalah duwe dari Sang Catur Sanak yang mengambil wujud rwa bineda -- dua sifat yang berbeda dari laki-perempuan, siang-malam, panas-dingin, dan sebagainya. Yang cair misalnya, kalau dipanaskan oleh api akan menguap ke langit (I Bapa), sedangkan api akan mengendap ke bumi (I Meme). Langit sendiri akan menurunkan hujan untuk menyuburkan bumi dan melahirkan kehidupan.

Jadi, dengan begitu, kemungkinan Barong Landung adalah perwujudan I Bapa dan I Meme. I Bapa sebagai langit diwujudkan dengan warna hitam (Jro Gde), simbol dari Dewa Wisnu yang memelihara dunia, sekaligus Dewa Air yang menghanyutkan segala noda dunia, dan menjadi tirta penglukatan bagi umat manusia. Sedangkan I Meme atau Ibu Bumi (Jro Luh) berwarna putih sebagai Iswara yang sering juga disebut Siwa, maha pelebur segala noda sekaligus sebagai tempat penciptaan. Jadi, Jro Luh adalah Ibu Bumi yang mengandung, memelihara, dan akan mengembalikan lagi isi dunia ke dalam perutNya ketika waktunya telah tiba.

Barong Landung, jika disimpulkan, adalah perwujudan dari sang Maha Pencipta itu sendiri, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang oleh undagi di masa lalu tentu diwujudkan sesuai dengan keadaan zamannya ketika itu, yakni ketika sedang hangat-hangatnya perkawinan antarbudaya Cina dan Bali, termasuk di dalamnya "perkawinan celaka" sang raja dengan putri Cina itu.

Namun, apapun latar belakangnya, Barong Landung adalah mahakarya yang pernah diciptakan oleh para leluhur di Bali. Ia adalah lambang penciptaan (lingga dan yoni) yang oleh ilmuwan Thomas Alfa Edison disebut sebagai unsur positif dan negatif. Diyakini, jika kedua unsur ini bertemu, maka akan menimbulkan energi listrik. Hebatnya, konsep lingga-yoni tercipta jauh sebelum Thomas Alfa Edison lahir.

(Sumber: Bali Post)

Friday 29 August 2008

Candi Bentar dan Meru

meruGambar: Meru

Orang Bali membangun tempat sembahyang mereka menyerupai pura-pura yang merupakan simbol Gunung MahaMeru. Pangkal gunung dilukiskan dengan Candi Bentar, yaitu pintu terpisah. Sedangkan madya atau bagian tengah gunung tersebut dilukiskan dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang hutan seperti misalnya Bhoma yang melambangkan pohon kayu yang besar. Bhoma artinya kayu yang tumbuh dari bumi. Bongkol kayu diumpamakan kepala dengan ranting-rantingnya berupa tangan yang memegang daun-daun dan bunga-bungaan. Di samping itu, di dalam Kori Agung digambarkan pula binatang hutan seperti gajah atau Karang Asti, singa atau Karang Sae, burung gagak atau Karang Guak, dan sebagainya.

mahameru

Gambar: Gunung Mahameru


Gunung MahaMeru itu memiliki banyak puncak. Salah satu yang tertinggi adalah puncak MahaMeru atau Kailasa sebagai tempat bertahtanya Batara Siwa. Dari kata MahaMeru itulah timbul kata Meru sehingga pura di Bali itu sebenarnya adalah simbol Gunung MahaMeru tempat bertahtanya Batara Siwa. Sebab itu bentuk Kori Agung sangat disucikan dan dikeramatkan. Sedangkan Candi Bentar dianggap kurang sakral daripada Meru karena merupakan simbol pangkal gunung. Namun, di dalam komposisinya Candi Bentar merupakan satu kesatuan dengan Kori Agung dan Meru. Tegasnya, pura adalah simbol dari gunung yang merupakan tempat simbolis bersemayamnya Ida Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa. Sebab itu, Candi Bentar, Kori Agung, dan Meru hanya bisa dibuat untuk melukiskan gunung atau pura.

kori_agung

Gambar: Kori Agung


Tuesday 15 July 2008

naga banda | bedawang nala | hindu bali mitologi

Sekitar abad ke XVI Dalem sebagai penguasa tertinggi di Pulau Bali membuat tata aturan bagi orang-orang yang meninggal terutama pejabat-pejabat pemerintahan dan para pendeta. Diperkiraka peraturan mengenai wadah petulangan dan gelar-gelar kebangsawanan ditetapkan pada zaman Dalem Dimade karena sejak saat itulah baru dikenal gelar I Gusti Agung untuk jabatan Patih Agung dan I Gusti untuk jabatan penguasa-penguasa daerah di bawah Dalem termasuk para patih.

Sebelum zaman Dalem Dimade hanya dikenal sebutan Ki atau Arya. Kemungkinan juga pedarman-pedarman yang ada di Besakih di kompleks sebelah timur penataran agung dibangun pada zaman ini dimana para ksatria yang memegang wilayah diperkenankan membuat pedarman dengan tumpang merunya dibentuk menurut kekuasaan atau kedudukannya waktu itu.

Aturan ini diwarisi turun temurun oleh warganya masing-masing. Demikianlah para pendeta yang meninggal ditetapkan memakai wadah yang berbentuk padmasana. Para raja-raja di bawah kekuasaan Dalem dan pejabat-pejabat yang berkuasa waktu itu menggunakan wadah dengan tumpang-tumpang tertentu sesuai dengan kedudukannya yang telah diatur oleh Dalem. Tumpang-tumpang bade untuk para pejabat dan turunannya dibatasi dari tumpang tiga sampai tumpang Sembilan. Demikian juga petulangannya ditetapkan bagi mereka yang boleh memakai lembu, singa, naga kaang, gajah mina dan sebagainya. Umumnya para ksatria hamper semuanya memakai petulangan lembu sedangkan untuk golongan khusus lainnya berdasarkan fungsi atau keahliannya memakai petulangan singa, gajah mina, dan naga kaang.

Khusus untuk Dalem beserta turunannya bisa memakai tumpang sebelas dengan naga banda dan petulangan lembu.

Gambar: Naga Banda

Dalam mitologi Hindu di Bali, kulit bumi yang berlapis-lapis dan sungai yang mengalir berliku-liku digambarkan sebagai naga-naga yang membelit inti bumi, dimana inti bumi dilukiskan sebagai Bedawang Nala atau Bedawang Api. Konon penyebab terjadinya gempa bumi adalah karena naga-naga yang bertugas membelit Bedawang Nala ini terlena sekejap sehingga Bedawang dapat bergerak dan terjadilah gempa bumi.

Gambar: Bedawang Nala

Induk-induk naga dikenal dengan nama Sang Hyang Anantabhoga, Sang Hyang Basuki dan Naga Taksaka. Sang Hyang Anantabhoga menggambarkan lapisan kulit bumi yang memikul alam kita ini dengan punggungnya (Anantabhogastawa). Dari kulit bumi inilah timbul segala jenis tumbuh-tumbuhan yang diibaratkan bulu-bulu naga yang memberikan kita sandang pangan yang tidak habis-habisnya. Kata Anantabhoga berasal dari kata ananta yang berarti tidak habis dan bhoga yang berarti pangan.

Sementara Sang Hyang Naga Basuki, dalam Basukistawa dilukiskan dengan Indragiri atau penguasa gunung. Gunung dalam pandangan umat Hindu di Bali bukan saja sebagai linggih atau singgasana Ida Batara tetapi juga merupakan hulunya mata air yang melahirkan sungai yang berliku-liku, yang menyebabkan tanah menjadi subur.

Naga Taksaka digambarkan sebagai naga bersayap yang menguasai udara sehingga udara dapat memberikan kehidupan kepada semua makhluk. Sebab itulah Dalem yang menjadi raja Pulau Bali pada zaman dulu menetapkan bahwa beliau dan turunannya jika meninggal dapat memakai Naga Banda sebagai penebusan terhadap ikatan duniawi sewaktu beliau masih hidup. Rasa keterikatan inilah yang harus diputuskan dengan cara menghidupkan satwam, dalam upacara disimbolkan dengan pendeta yang memanah Naga Banda. Apabila ikatan duniawi ini tidak dapat dilepaskan maka Sang Hyang Atma akan dililit dibawa ke neraka. Namun, apabila ikatan ini mampu dilepaskan maka Sang Hyang Anantabhoga akan menjadi kendaraan Sang Hyang Atma untuk pergi ke surga.

Lihat video tentang ngaben di sini:


ngaben | cremation ceremony | balinese cremation ceremony

Hari ini di wilayah Ubud, Bali diadakan upacara ngaben besar-besaran dimana yang diaben merupakan anggota kerajaan. Upacara ngaben kali ini benar-benar megah, dengan menggunakan wadah / bade setinggi 28,5 meter lengkap dengan naga banda. Praktis upacara ngaben yang menelan biaya miliaran rupiah ini menjadi salah satu upacara ngaben termegah yang pernah diadakan di Bali.

Ngaben adalah upacara penyucian atma (roh) dengan cara pembakaran jenazah. Ada perkiraan bahwa ngaben berasal dari kata ‘ngaba + in” yang berarti membekali atau memberi bekal. Dalam hal ini bekal dapat berwujud material seperti banten-banten upakara dan benda-benda materi lainnya yang sering digunakan oleh almarhum, seperti pakaian atau kain. Sementara benda non material dapat berupa puja dan mantra dari Ida Pedanda serta doa-doa dari saudara dan kerabatnya.

Ada pula yang memperkirakan bahwa ngaben berasal dari kata “abu”, menjadi ngabuin dan disingkat menjadi ngabon. Kata ngabon ini mengandung arti bahwa jasad dibakar menjadi abu. Kemudian kata ngabon diperhalus menjadi ngaben.

Tidak semua tempat di Bali melaksanakan upacara ngaben dengan cara membakar jasad. Di beberapa tempat yang berdekatan dengan Pura Kahyangan Agung seperti Batur, Besakih, Uluwatu, dan umumnya di daerah-daerah pegunungan, walaupun dilaksanakan upacara ngaben ataupun pembakaran mayat, tapi bukanlah mayat orang itu yang dibakar melainkan puspa sariranya. Jasadnya sendiri ditanam dan kemudian dibuatkan puspa sariranya dari kayu cendana atau tirta, atau bunga sebagai perwujudan. Perwujudan inilah yang kemudian dibakar.
Ada banyak tahap dalam upacara ngaben. Dimulai dari memandikan jasad (nyiramin), ngajum, pembakaran, sampai nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana banten atau sesajen yang berbeda-beda. Ketika ada anggota keluarga yang meninggal, maka anggota lainnya akan menghadap ke Ida Pedanda untuk menanyakan hari baik (dewasa ayu) untuk melaksanakan upacara ngaben. Biasanya waktu yang diberikan tidak lebih dari 7 hari sejak hari meninggalnya. Setelah mendapatkan hari baik maka pihak keluarga mulai mempersiapkan ritual pertama yaitu nyiramin layon (pemandian jenazah).

Setelah dimandikan, jasad kemudian “megulung” dibungkus dengan kain putih dan ditaruh di dalam peti, kemudian diletakkan di Bale Gede atau di puri-puri biasanya digunakan Bale semanggen.

Pada waktu upacara pembersihan orang yang meninggal ini “dihidupkan secara ritual” dimana bubur pirata, angenan, nasi angkeb panjang ilang dan sebagainya digunakan sebagai symbol pengganti jasad manusia dan sebagai tempat Sang Hyang Atma hidup sementara sebelum dibakar.

Demikian pula kalau upacara ngaben ini memakai naga banda, maka naga banda inipun dihidupkan oleh Ida Pedanda.

Pada hari baik yang telah ditetapkan oleh Ida Pedanda maka dilaksanakanlah upacara ngaben di mana jasad akan dibawa keluar rumah dan sesudah ditaruh di atas wadah/bade diputar terlebih dahulu di muka rumah sebanyak 3 kali dengan arah yang berlawanan dengan jarum jam, yaitu ke kiri. Upacara ini disebut meprasawya. Upacara ini juga dilakukan di perempatan jalan menuju setra (kuburan) dan sekali lagi setelah sampai di setra.

Sebelum dibakar maka jasadnya terlebih dahulu dimantrai dan diberi puja oleh Ida Pedanda dengan daksina diletakkan di bagian hulu dari jasad tersebut sebagai tempat dari Sang Hyang Atma. Setelah itu mulailah Ida Pedanda memperlakukan mayat itu sebagai manusia yang hidup, diberi tirta pangentas dari Kahyangan Tiga, tirta penembak dan sebagainya karena Sang Hyang Atma telah didudukkan kembali ke jasad itu. Di pusat-pusat syaraf dan persendian dari jasad itu diisi dengan kwangen sebagai lambang Tri Murti, lambang hidup, yaitu bayu, sabda, dan idep.

Sebelum dibakar jasad akan dipindahkan dari wadah ke pemalungan, yaitu tempat pembakaran jenazah yang terbuat dari batang pohon pisang ditumpuk berbentuk lembu. Di sanalah dilakukan upacara pembakaran yang merupakan lambang dari pralina (peleburan).

Setelah dibakar, abunya “direka” lagi yaitu dimana tulang atau galih dari jasad yang sudah terbakar itu dikumpulkan kembali. Untuk membedakan abu dari tulang dengan abu dari kayu bakar biasanya digunakan air yang disiramkan pada abu pembakaran yang mana nanti akan jelas tampak abu tulang berwarna putih sementara abu kayu berwarna hitam.

Sebagian dari galih yang sudah dikumpulkan tersebut dikumpulkan dan dibentuk sebagai orang-orangan dan di atasnya diisi kwangen 7 tanding sebagai pengurip-urip (sarana penghidupan). Setelah itu dipuja dan dimantrai lagi oleh Ida Pedanda seolah-olah orang yang mati hidup lagi dalam bentuk yang lebih halus. Setelah itu dipuja dan dimantra kembali untuk dipralina dengan cara menggiling galih tersebut di atas dulang kecil hingga hancur dan halus, kemudian dimasukkan dalam kelapa gading yang dibungkus kain putih dihias dengan bunga dan kwangen sebagai symbol omkara, lambang kehidupan, yaitu bayu, sabda, dan idep.

Tahap selanjutnya adalah mempralina kembali dengan cara menghanyutkan kelapa gading tersebut ke laut.


Monday 14 July 2008

bali kite festival 2008 | flying for peace | lomba layang-layang se-Bali 2008

Festival layang-layang se-Bali atau Bali Kite Festival yang kali ini mengambil tema Flying for peace diadakan mulai tanggal 11-13 Juli 2008, hampir bersamaan dengan berakhirnya Pesta Kesenian Bali 2008. Festival ini bertempat di Pantai Padang Galak, Sanur yang diadakan setiap tahunnya.
Lomba ini diikuti oleh hampir 700 layang-layang berbagai jenis mulai dari kreasi dan tradisional (bebean, janggan, dan pecukan). Pesertanya berasal dari berbagai kalangan masyarakat mulai dari anak-anak, individu, sekaa teruna, sampai peserta dari luar negeri. Mereka unjuk kebolehan dalam membuat layang-layang dengan kreatifitas masing-masing.
Terdapat berbagai jenis layang-layang kreasi, mulai dari layang-layang berbentuk ikan, burung, pesawat, parasut, bidadari, garuda, perahu, gurita bahkan spongebob.










Untuk jenis layang-layang tradisional Janggan, panjang ekornya yang terpendek 50 meter dan terpanjang mencapai 150 meter yang menggunakan hiasan tapel (topeng/mask) naga yang berukir sangat indah.





Untuk jenis Bebean terdapat berbagai macam warna dan ukuran, serta dihiasi guangan (semacam hiasan berbentuk busur terbuat dari batang pohon pinang dan talinya terbuat dari rotan) yang mengeluarkan bunyi berirama merdu.


Dan yang paling seru, jenis Pecukan karena layang-layang ini bisa melakukan berbagai macam atraksi di udara.
Ada berbagai macam ukuran layang-layang yang ikut dalam festival tersebut. Ada yang berukuran 1,5 meter sampai 6 atau 7 meter. Disamping itu ada juga layang-layang yang berjenis knock down atau bisa dibongkar pasang. Tujuannya adalah memudahkan ketika membawa layang-layang ke tempat festival.
Festival berlangsung mulai pukul 10.00 sampai 17.00. Masyarakat sangat antusias dalam mengikuti festival ini, terbukti dari banyaknya peserta dan penonton yang hadir, bahkan dari manca negara.
Ada satu kejadian yang membuat saya terkesan dalam festival ini. Salah satu peserta dari sekaa teruna salah satu banjar bahkan menggunakan tapel ( topeng/mask) yang bertuah untuk dipasang pada bagian kepala layang-layangnya. sebelum menaikkan layang-layangnya, salah satu pemuda mengalami trance atau di Bali kami menyebutnya kerauhan akibat dari taksu (wibawa) dari tapel tersebut.

Friday 4 July 2008

Horeeee.....

Hari ini merupakan hari bersejarah dalam hidup saya karena ini pertama kalinya saya bisa membuat sesuatu yang berhubungan dengan komputer.
Ok, saya cerita sedikit....
Dulu waktu saya SMA, sekitar 7 tahun yang lalu, saya alergi berat sama komputer.
Yang namanya dekat2 komputer tuh ga bisa lebih dari 30 detik.
Kalo lewat dari itu saya pasti lari terbirit-birit dan kena sakit kepala.
Pelan-pelan, berkat bantuan teman saya, saya mulai punya alamat e-mail, kirim e-mail, buka e-mail, pokoknya yang ecek-ecek gitu...
Itupun dengan kebanggaan yang luar biasa.
percaya deh, sampai kuliah semester awal pun saya ga bisa idupin komputer...
Bego yaaa....
Akhirnya,karena keterpaksaan dan tuntutan profesi (waktu itu mahasiswa) untuk bikin paper-lah, tugas-lah, transparan-lah, ini-lah, itu-lah, saya mulai belajar Microsoft Word.
So, blog ini adalah suatu hal yang bikin saya sumringah.
Horeeee....aku bisa!!!!