Tuesday 15 July 2008

naga banda | bedawang nala | hindu bali mitologi

Sekitar abad ke XVI Dalem sebagai penguasa tertinggi di Pulau Bali membuat tata aturan bagi orang-orang yang meninggal terutama pejabat-pejabat pemerintahan dan para pendeta. Diperkiraka peraturan mengenai wadah petulangan dan gelar-gelar kebangsawanan ditetapkan pada zaman Dalem Dimade karena sejak saat itulah baru dikenal gelar I Gusti Agung untuk jabatan Patih Agung dan I Gusti untuk jabatan penguasa-penguasa daerah di bawah Dalem termasuk para patih.

Sebelum zaman Dalem Dimade hanya dikenal sebutan Ki atau Arya. Kemungkinan juga pedarman-pedarman yang ada di Besakih di kompleks sebelah timur penataran agung dibangun pada zaman ini dimana para ksatria yang memegang wilayah diperkenankan membuat pedarman dengan tumpang merunya dibentuk menurut kekuasaan atau kedudukannya waktu itu.

Aturan ini diwarisi turun temurun oleh warganya masing-masing. Demikianlah para pendeta yang meninggal ditetapkan memakai wadah yang berbentuk padmasana. Para raja-raja di bawah kekuasaan Dalem dan pejabat-pejabat yang berkuasa waktu itu menggunakan wadah dengan tumpang-tumpang tertentu sesuai dengan kedudukannya yang telah diatur oleh Dalem. Tumpang-tumpang bade untuk para pejabat dan turunannya dibatasi dari tumpang tiga sampai tumpang Sembilan. Demikian juga petulangannya ditetapkan bagi mereka yang boleh memakai lembu, singa, naga kaang, gajah mina dan sebagainya. Umumnya para ksatria hamper semuanya memakai petulangan lembu sedangkan untuk golongan khusus lainnya berdasarkan fungsi atau keahliannya memakai petulangan singa, gajah mina, dan naga kaang.

Khusus untuk Dalem beserta turunannya bisa memakai tumpang sebelas dengan naga banda dan petulangan lembu.

Gambar: Naga Banda

Dalam mitologi Hindu di Bali, kulit bumi yang berlapis-lapis dan sungai yang mengalir berliku-liku digambarkan sebagai naga-naga yang membelit inti bumi, dimana inti bumi dilukiskan sebagai Bedawang Nala atau Bedawang Api. Konon penyebab terjadinya gempa bumi adalah karena naga-naga yang bertugas membelit Bedawang Nala ini terlena sekejap sehingga Bedawang dapat bergerak dan terjadilah gempa bumi.

Gambar: Bedawang Nala

Induk-induk naga dikenal dengan nama Sang Hyang Anantabhoga, Sang Hyang Basuki dan Naga Taksaka. Sang Hyang Anantabhoga menggambarkan lapisan kulit bumi yang memikul alam kita ini dengan punggungnya (Anantabhogastawa). Dari kulit bumi inilah timbul segala jenis tumbuh-tumbuhan yang diibaratkan bulu-bulu naga yang memberikan kita sandang pangan yang tidak habis-habisnya. Kata Anantabhoga berasal dari kata ananta yang berarti tidak habis dan bhoga yang berarti pangan.

Sementara Sang Hyang Naga Basuki, dalam Basukistawa dilukiskan dengan Indragiri atau penguasa gunung. Gunung dalam pandangan umat Hindu di Bali bukan saja sebagai linggih atau singgasana Ida Batara tetapi juga merupakan hulunya mata air yang melahirkan sungai yang berliku-liku, yang menyebabkan tanah menjadi subur.

Naga Taksaka digambarkan sebagai naga bersayap yang menguasai udara sehingga udara dapat memberikan kehidupan kepada semua makhluk. Sebab itulah Dalem yang menjadi raja Pulau Bali pada zaman dulu menetapkan bahwa beliau dan turunannya jika meninggal dapat memakai Naga Banda sebagai penebusan terhadap ikatan duniawi sewaktu beliau masih hidup. Rasa keterikatan inilah yang harus diputuskan dengan cara menghidupkan satwam, dalam upacara disimbolkan dengan pendeta yang memanah Naga Banda. Apabila ikatan duniawi ini tidak dapat dilepaskan maka Sang Hyang Atma akan dililit dibawa ke neraka. Namun, apabila ikatan ini mampu dilepaskan maka Sang Hyang Anantabhoga akan menjadi kendaraan Sang Hyang Atma untuk pergi ke surga.

Lihat video tentang ngaben di sini:


ngaben | cremation ceremony | balinese cremation ceremony

Hari ini di wilayah Ubud, Bali diadakan upacara ngaben besar-besaran dimana yang diaben merupakan anggota kerajaan. Upacara ngaben kali ini benar-benar megah, dengan menggunakan wadah / bade setinggi 28,5 meter lengkap dengan naga banda. Praktis upacara ngaben yang menelan biaya miliaran rupiah ini menjadi salah satu upacara ngaben termegah yang pernah diadakan di Bali.

Ngaben adalah upacara penyucian atma (roh) dengan cara pembakaran jenazah. Ada perkiraan bahwa ngaben berasal dari kata ‘ngaba + in” yang berarti membekali atau memberi bekal. Dalam hal ini bekal dapat berwujud material seperti banten-banten upakara dan benda-benda materi lainnya yang sering digunakan oleh almarhum, seperti pakaian atau kain. Sementara benda non material dapat berupa puja dan mantra dari Ida Pedanda serta doa-doa dari saudara dan kerabatnya.

Ada pula yang memperkirakan bahwa ngaben berasal dari kata “abu”, menjadi ngabuin dan disingkat menjadi ngabon. Kata ngabon ini mengandung arti bahwa jasad dibakar menjadi abu. Kemudian kata ngabon diperhalus menjadi ngaben.

Tidak semua tempat di Bali melaksanakan upacara ngaben dengan cara membakar jasad. Di beberapa tempat yang berdekatan dengan Pura Kahyangan Agung seperti Batur, Besakih, Uluwatu, dan umumnya di daerah-daerah pegunungan, walaupun dilaksanakan upacara ngaben ataupun pembakaran mayat, tapi bukanlah mayat orang itu yang dibakar melainkan puspa sariranya. Jasadnya sendiri ditanam dan kemudian dibuatkan puspa sariranya dari kayu cendana atau tirta, atau bunga sebagai perwujudan. Perwujudan inilah yang kemudian dibakar.
Ada banyak tahap dalam upacara ngaben. Dimulai dari memandikan jasad (nyiramin), ngajum, pembakaran, sampai nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana banten atau sesajen yang berbeda-beda. Ketika ada anggota keluarga yang meninggal, maka anggota lainnya akan menghadap ke Ida Pedanda untuk menanyakan hari baik (dewasa ayu) untuk melaksanakan upacara ngaben. Biasanya waktu yang diberikan tidak lebih dari 7 hari sejak hari meninggalnya. Setelah mendapatkan hari baik maka pihak keluarga mulai mempersiapkan ritual pertama yaitu nyiramin layon (pemandian jenazah).

Setelah dimandikan, jasad kemudian “megulung” dibungkus dengan kain putih dan ditaruh di dalam peti, kemudian diletakkan di Bale Gede atau di puri-puri biasanya digunakan Bale semanggen.

Pada waktu upacara pembersihan orang yang meninggal ini “dihidupkan secara ritual” dimana bubur pirata, angenan, nasi angkeb panjang ilang dan sebagainya digunakan sebagai symbol pengganti jasad manusia dan sebagai tempat Sang Hyang Atma hidup sementara sebelum dibakar.

Demikian pula kalau upacara ngaben ini memakai naga banda, maka naga banda inipun dihidupkan oleh Ida Pedanda.

Pada hari baik yang telah ditetapkan oleh Ida Pedanda maka dilaksanakanlah upacara ngaben di mana jasad akan dibawa keluar rumah dan sesudah ditaruh di atas wadah/bade diputar terlebih dahulu di muka rumah sebanyak 3 kali dengan arah yang berlawanan dengan jarum jam, yaitu ke kiri. Upacara ini disebut meprasawya. Upacara ini juga dilakukan di perempatan jalan menuju setra (kuburan) dan sekali lagi setelah sampai di setra.

Sebelum dibakar maka jasadnya terlebih dahulu dimantrai dan diberi puja oleh Ida Pedanda dengan daksina diletakkan di bagian hulu dari jasad tersebut sebagai tempat dari Sang Hyang Atma. Setelah itu mulailah Ida Pedanda memperlakukan mayat itu sebagai manusia yang hidup, diberi tirta pangentas dari Kahyangan Tiga, tirta penembak dan sebagainya karena Sang Hyang Atma telah didudukkan kembali ke jasad itu. Di pusat-pusat syaraf dan persendian dari jasad itu diisi dengan kwangen sebagai lambang Tri Murti, lambang hidup, yaitu bayu, sabda, dan idep.

Sebelum dibakar jasad akan dipindahkan dari wadah ke pemalungan, yaitu tempat pembakaran jenazah yang terbuat dari batang pohon pisang ditumpuk berbentuk lembu. Di sanalah dilakukan upacara pembakaran yang merupakan lambang dari pralina (peleburan).

Setelah dibakar, abunya “direka” lagi yaitu dimana tulang atau galih dari jasad yang sudah terbakar itu dikumpulkan kembali. Untuk membedakan abu dari tulang dengan abu dari kayu bakar biasanya digunakan air yang disiramkan pada abu pembakaran yang mana nanti akan jelas tampak abu tulang berwarna putih sementara abu kayu berwarna hitam.

Sebagian dari galih yang sudah dikumpulkan tersebut dikumpulkan dan dibentuk sebagai orang-orangan dan di atasnya diisi kwangen 7 tanding sebagai pengurip-urip (sarana penghidupan). Setelah itu dipuja dan dimantrai lagi oleh Ida Pedanda seolah-olah orang yang mati hidup lagi dalam bentuk yang lebih halus. Setelah itu dipuja dan dimantra kembali untuk dipralina dengan cara menggiling galih tersebut di atas dulang kecil hingga hancur dan halus, kemudian dimasukkan dalam kelapa gading yang dibungkus kain putih dihias dengan bunga dan kwangen sebagai symbol omkara, lambang kehidupan, yaitu bayu, sabda, dan idep.

Tahap selanjutnya adalah mempralina kembali dengan cara menghanyutkan kelapa gading tersebut ke laut.


Monday 14 July 2008

bali kite festival 2008 | flying for peace | lomba layang-layang se-Bali 2008

Festival layang-layang se-Bali atau Bali Kite Festival yang kali ini mengambil tema Flying for peace diadakan mulai tanggal 11-13 Juli 2008, hampir bersamaan dengan berakhirnya Pesta Kesenian Bali 2008. Festival ini bertempat di Pantai Padang Galak, Sanur yang diadakan setiap tahunnya.
Lomba ini diikuti oleh hampir 700 layang-layang berbagai jenis mulai dari kreasi dan tradisional (bebean, janggan, dan pecukan). Pesertanya berasal dari berbagai kalangan masyarakat mulai dari anak-anak, individu, sekaa teruna, sampai peserta dari luar negeri. Mereka unjuk kebolehan dalam membuat layang-layang dengan kreatifitas masing-masing.
Terdapat berbagai jenis layang-layang kreasi, mulai dari layang-layang berbentuk ikan, burung, pesawat, parasut, bidadari, garuda, perahu, gurita bahkan spongebob.










Untuk jenis layang-layang tradisional Janggan, panjang ekornya yang terpendek 50 meter dan terpanjang mencapai 150 meter yang menggunakan hiasan tapel (topeng/mask) naga yang berukir sangat indah.





Untuk jenis Bebean terdapat berbagai macam warna dan ukuran, serta dihiasi guangan (semacam hiasan berbentuk busur terbuat dari batang pohon pinang dan talinya terbuat dari rotan) yang mengeluarkan bunyi berirama merdu.


Dan yang paling seru, jenis Pecukan karena layang-layang ini bisa melakukan berbagai macam atraksi di udara.
Ada berbagai macam ukuran layang-layang yang ikut dalam festival tersebut. Ada yang berukuran 1,5 meter sampai 6 atau 7 meter. Disamping itu ada juga layang-layang yang berjenis knock down atau bisa dibongkar pasang. Tujuannya adalah memudahkan ketika membawa layang-layang ke tempat festival.
Festival berlangsung mulai pukul 10.00 sampai 17.00. Masyarakat sangat antusias dalam mengikuti festival ini, terbukti dari banyaknya peserta dan penonton yang hadir, bahkan dari manca negara.
Ada satu kejadian yang membuat saya terkesan dalam festival ini. Salah satu peserta dari sekaa teruna salah satu banjar bahkan menggunakan tapel ( topeng/mask) yang bertuah untuk dipasang pada bagian kepala layang-layangnya. sebelum menaikkan layang-layangnya, salah satu pemuda mengalami trance atau di Bali kami menyebutnya kerauhan akibat dari taksu (wibawa) dari tapel tersebut.

Friday 4 July 2008

Horeeee.....

Hari ini merupakan hari bersejarah dalam hidup saya karena ini pertama kalinya saya bisa membuat sesuatu yang berhubungan dengan komputer.
Ok, saya cerita sedikit....
Dulu waktu saya SMA, sekitar 7 tahun yang lalu, saya alergi berat sama komputer.
Yang namanya dekat2 komputer tuh ga bisa lebih dari 30 detik.
Kalo lewat dari itu saya pasti lari terbirit-birit dan kena sakit kepala.
Pelan-pelan, berkat bantuan teman saya, saya mulai punya alamat e-mail, kirim e-mail, buka e-mail, pokoknya yang ecek-ecek gitu...
Itupun dengan kebanggaan yang luar biasa.
percaya deh, sampai kuliah semester awal pun saya ga bisa idupin komputer...
Bego yaaa....
Akhirnya,karena keterpaksaan dan tuntutan profesi (waktu itu mahasiswa) untuk bikin paper-lah, tugas-lah, transparan-lah, ini-lah, itu-lah, saya mulai belajar Microsoft Word.
So, blog ini adalah suatu hal yang bikin saya sumringah.
Horeeee....aku bisa!!!!