Saturday 30 August 2008

Ratu Gede Barong Landung

Jro Gde:

Delod Tunduh Abian SemaL

Mula kunyit di sempidi

Mapunduh paturu lengar

Mara ngajengit tusing magigi

Jro Luh:

Ngempug kuud caratan diwang

Ngempug kuud caratan diwang

Meli bulih tuah ji talen

Beli suud nyaratang tiang

Beli suud nyaratang tiang

Kemu alih suba elenan

Penggalan gending bebarongan tersebut biasa dinyanyikan oleh dua pemundut Barong Landung saat ngelawang berkeliling desa. Umat menurunkan sasuhunan berupa Barong Landung tersebut dari pura untuk menari di sepanjang jalan desa dengan harapan tarian itu akan menimbulkan energi gaib, semacam tenaga baru, seperti yang dilakukan Dewa Siwa dengan tarian tandawa-nya untuk mengembalikan roh kehidupan yang diambil oleh para bebutan.

Barong Landung adalah pralingga, sekaligus perisai bagi desa-desa yang terancam kegeringan. Bahkan di banyak tempat, Barong Landung dipuja sebagai simbol sejarah yang sangat kelam di masa lalu. Kisah yang bersumber ketika Sri Jaya Pangus, raja Bali dari dinasti Warmadewa, kerajaannya berpusat di Panarojan, tiga kilometer di sebelah utara Kintamani. Sri Jaya Pangus dituduh telah melanggar adat yang sangat ditabukan saat itu, yakni telah dengan berani mengawini putri Cina yang elok bernama Kang Cing Wei. Meski tidak mendapatkan berkat dari pendeta kerajaan, Mpu Siwa Gama, sang raja tetap ngotot tidak mau mundur. Akibatnya, sang pendeta marah, lalu menciptakan hujan terus menerus, hingga seluruh kerajaan tenggelam.

Dengan berat hati sang raja memindahkan kerajaannya ke tempat lain, kini dikenal dengan nama Balingkang (Bali + Kang), dan raja kemudian dijuluki oleh rakyatnya sebagai Dalem Balingkang. Sayang, karena lama mereka tidak mempunyai keturunan, raja pun pergi ke Gunung Batur, memohon kepada dewa di sana agar dianugerahi anak. Namun celakanya, dalam perjalanannya ia bertemu dengan Dewi Danu yang jelita. Ia pun terpikat, kawin, dan melahirkan seorang anak lelaki yang sangat kesohor hingga kini, Maya Danawa.

Sementara itu, Kang Cing Wei yang lama menunggu suaminya pulang, mulai gelisah, Ia bertekad menyusul ke Gunung Batur. Namun di sana, di tengah hutan belantara yang menawan, iapun terkejut manakala menemukan suaminya telah menjadi milik Dewi Danu. Ketiganya lalu terlibat pertengkaran sengit.

Dewi Danu dengan marah berapi-api menuduh sang raja telah membohongi dirinya dengan mengaku sebelumnya sebagai perjaka. Dengan kekuatan gaibnya, Dalem Balingkang dan Kang Cing Wei dilenyapkan dari muka bumi ini. Oleh rakyat yang mencintainya, kedua suami istri -- Dalem Balingkang dan Kang Cing Wei -- itu lalu dibuatkan patung yang dikenal dengan nama Stasura dan Bhati Mandul. Patung inilah kemudian berkembang menjadi Barong Landung.

Perkawinan Budaya

Tapi Barong Landung ternyata lebih dari sekadar kisah sejarah. Ia bukan saja perkawinan lahiriah, tetapi juga budaya. Pernik-pernik budaya Cina seperti pis bolong, patra cina, barong sae, telah lama dikawinkan dengan budaya Bali, bahkan dalam bidang filsafat telah pula melahirkan paham Siwa Budha yang terus memperkaya tradisi agama Hindu sampai sekarang di Bali.

Juga, Barong Landung bukanlah sekadar penghias pura, ia adalah duwe dengan segala perwujudannya yang sangat keramat. Ia dibuat pada dewasa ayu kilang-kilung, dari kayu bertuah seperti pule, jaran, waruh teluh, kepah, kapas, dan "dihidupkan" dengan ritual prayascita serta di-plaspas untuk menghapuskan papa klesa secara sekala niskala. Di sini, ia pun diberi pedagingan berupa perak, emas, dan tembaga, juga pudi mirah (sejenis permata) yang dipasangkan di ubun-ubun lengkap dengan rerajahan-nya -- ang, ung, dan mang.

Setelah seluruh bagian tubuhnya disatukan dalam upakara masupati yang dipermaklumkan oleh sulinggih, pemangku, maupun sangging ke hadapan Dewa Surya, Siwa, dan Sapu Jagat, Barong Landung lalu dibawa ke tengah kuburan. Di situ, di tengah kegelapan malam kajeng kliwon, pemundut harus duduk di atas tiga tengkorak manusia sambil meneguhkan hatinya untuk menerima ritual yang paling mengguncangkan, yaitu masuci dan ngerehin.

Biasanya, jika Barong Landung ini sudah kalinggihin, akan ada pertanda jatuhnya kilatan cahaya gaib ke tubuh pemundut hingga ia kesurupan, dan Barong Landung pun menjadi terguncang-guncang tanpa kendali. Jika hal ini terjadi, maka Barong Landung telah dianggap "hidup" dan pantas diberi gelar Jro Gde untuk barong laki-lakinya dan Jro Luh untuk wanitanya.

Jro Gde memiliki tubuh hitam, rambut lurus lebat, mata sipit, gigi jongos, dan memakai keris. Sedangkan Jro Luh bertubuh ramping, putih seperti layaknya wanita Cina, dan memakai kebaya Cina. Kedua tangan kiri barong ini ditekuk ke pinggang, yang oleh pengamat kebatinan diyakini sebagai sikap pengendalian diri, mengingat kiri sama artinya dengan pengiwa. Lawan pengiwa adalah penengen, tangan kanan, yang sengaja dibuat lurus sebagaimana jalan kebenaran.

Sejarah Munculnya Barong Landung

Namun, kapan sesungguhnya Barong Landung tersebut muncul? Ini yang masih banyak dipertanyakan. Pada pemerintahan Dalem Waturenggong, abad ke-16, seni dan budaya Bali telah mencapai puncaknya. Kala itu telah diciptakannya relief Boma, yang kemudian menjadi tapel Barong Ket. Di samping itu pula terdapat tulisan Banaspati dan Calonarang, keduanya menunjuk pada pengertian Barong. Mungkinkah Barong Landung juga diciptakan pada masa ini?

Yang pasti, kemampuan manusia Bali dalam membuat simbol-simbol sudah ada sejak zaman dulu, seperti simbol bade, meru, pratima, rerajahan, warna-warna sakral, banten, sikap tubuh dalam gambar wayang, dan sebagainya. Dalam proses berkarya, biasanya untuk mengagumkan sesuatu, mereka, terutama para undagi, kreator, atau senimannya, sering mewujudkan pujaannya itu jauh lebih besar dari dirinya. Ini semata-mata untuk menunjukkan betapa besar kekuasaan Tuhan, dan betapa kecil dirinya. Dalam Barong Landung ini misalnya, undagi sengaja membuat wujud yang sangat menyeramkan dengan harapan dapat mengimbangi kedahsyatan roh-roh jahat yang sering mengganggu kehidupan di desa-desa.

Menurut Pan Putu Budhiartini dalam bukunya "Rangda dan Barong, Unsur Dualistik, Mengungkap Asal-asal Umat Manusia", Barong berasal dari Tatwa Kanda Pat Bhuta, tepatnya adalah duwe dari Sang Catur Sanak yang mengambil wujud rwa bineda -- dua sifat yang berbeda dari laki-perempuan, siang-malam, panas-dingin, dan sebagainya. Yang cair misalnya, kalau dipanaskan oleh api akan menguap ke langit (I Bapa), sedangkan api akan mengendap ke bumi (I Meme). Langit sendiri akan menurunkan hujan untuk menyuburkan bumi dan melahirkan kehidupan.

Jadi, dengan begitu, kemungkinan Barong Landung adalah perwujudan I Bapa dan I Meme. I Bapa sebagai langit diwujudkan dengan warna hitam (Jro Gde), simbol dari Dewa Wisnu yang memelihara dunia, sekaligus Dewa Air yang menghanyutkan segala noda dunia, dan menjadi tirta penglukatan bagi umat manusia. Sedangkan I Meme atau Ibu Bumi (Jro Luh) berwarna putih sebagai Iswara yang sering juga disebut Siwa, maha pelebur segala noda sekaligus sebagai tempat penciptaan. Jadi, Jro Luh adalah Ibu Bumi yang mengandung, memelihara, dan akan mengembalikan lagi isi dunia ke dalam perutNya ketika waktunya telah tiba.

Barong Landung, jika disimpulkan, adalah perwujudan dari sang Maha Pencipta itu sendiri, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang oleh undagi di masa lalu tentu diwujudkan sesuai dengan keadaan zamannya ketika itu, yakni ketika sedang hangat-hangatnya perkawinan antarbudaya Cina dan Bali, termasuk di dalamnya "perkawinan celaka" sang raja dengan putri Cina itu.

Namun, apapun latar belakangnya, Barong Landung adalah mahakarya yang pernah diciptakan oleh para leluhur di Bali. Ia adalah lambang penciptaan (lingga dan yoni) yang oleh ilmuwan Thomas Alfa Edison disebut sebagai unsur positif dan negatif. Diyakini, jika kedua unsur ini bertemu, maka akan menimbulkan energi listrik. Hebatnya, konsep lingga-yoni tercipta jauh sebelum Thomas Alfa Edison lahir.

(Sumber: Bali Post)

No comments: