Tuesday 15 July 2008

ngaben | cremation ceremony | balinese cremation ceremony

Hari ini di wilayah Ubud, Bali diadakan upacara ngaben besar-besaran dimana yang diaben merupakan anggota kerajaan. Upacara ngaben kali ini benar-benar megah, dengan menggunakan wadah / bade setinggi 28,5 meter lengkap dengan naga banda. Praktis upacara ngaben yang menelan biaya miliaran rupiah ini menjadi salah satu upacara ngaben termegah yang pernah diadakan di Bali.

Ngaben adalah upacara penyucian atma (roh) dengan cara pembakaran jenazah. Ada perkiraan bahwa ngaben berasal dari kata ‘ngaba + in” yang berarti membekali atau memberi bekal. Dalam hal ini bekal dapat berwujud material seperti banten-banten upakara dan benda-benda materi lainnya yang sering digunakan oleh almarhum, seperti pakaian atau kain. Sementara benda non material dapat berupa puja dan mantra dari Ida Pedanda serta doa-doa dari saudara dan kerabatnya.

Ada pula yang memperkirakan bahwa ngaben berasal dari kata “abu”, menjadi ngabuin dan disingkat menjadi ngabon. Kata ngabon ini mengandung arti bahwa jasad dibakar menjadi abu. Kemudian kata ngabon diperhalus menjadi ngaben.

Tidak semua tempat di Bali melaksanakan upacara ngaben dengan cara membakar jasad. Di beberapa tempat yang berdekatan dengan Pura Kahyangan Agung seperti Batur, Besakih, Uluwatu, dan umumnya di daerah-daerah pegunungan, walaupun dilaksanakan upacara ngaben ataupun pembakaran mayat, tapi bukanlah mayat orang itu yang dibakar melainkan puspa sariranya. Jasadnya sendiri ditanam dan kemudian dibuatkan puspa sariranya dari kayu cendana atau tirta, atau bunga sebagai perwujudan. Perwujudan inilah yang kemudian dibakar.
Ada banyak tahap dalam upacara ngaben. Dimulai dari memandikan jasad (nyiramin), ngajum, pembakaran, sampai nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana banten atau sesajen yang berbeda-beda. Ketika ada anggota keluarga yang meninggal, maka anggota lainnya akan menghadap ke Ida Pedanda untuk menanyakan hari baik (dewasa ayu) untuk melaksanakan upacara ngaben. Biasanya waktu yang diberikan tidak lebih dari 7 hari sejak hari meninggalnya. Setelah mendapatkan hari baik maka pihak keluarga mulai mempersiapkan ritual pertama yaitu nyiramin layon (pemandian jenazah).

Setelah dimandikan, jasad kemudian “megulung” dibungkus dengan kain putih dan ditaruh di dalam peti, kemudian diletakkan di Bale Gede atau di puri-puri biasanya digunakan Bale semanggen.

Pada waktu upacara pembersihan orang yang meninggal ini “dihidupkan secara ritual” dimana bubur pirata, angenan, nasi angkeb panjang ilang dan sebagainya digunakan sebagai symbol pengganti jasad manusia dan sebagai tempat Sang Hyang Atma hidup sementara sebelum dibakar.

Demikian pula kalau upacara ngaben ini memakai naga banda, maka naga banda inipun dihidupkan oleh Ida Pedanda.

Pada hari baik yang telah ditetapkan oleh Ida Pedanda maka dilaksanakanlah upacara ngaben di mana jasad akan dibawa keluar rumah dan sesudah ditaruh di atas wadah/bade diputar terlebih dahulu di muka rumah sebanyak 3 kali dengan arah yang berlawanan dengan jarum jam, yaitu ke kiri. Upacara ini disebut meprasawya. Upacara ini juga dilakukan di perempatan jalan menuju setra (kuburan) dan sekali lagi setelah sampai di setra.

Sebelum dibakar maka jasadnya terlebih dahulu dimantrai dan diberi puja oleh Ida Pedanda dengan daksina diletakkan di bagian hulu dari jasad tersebut sebagai tempat dari Sang Hyang Atma. Setelah itu mulailah Ida Pedanda memperlakukan mayat itu sebagai manusia yang hidup, diberi tirta pangentas dari Kahyangan Tiga, tirta penembak dan sebagainya karena Sang Hyang Atma telah didudukkan kembali ke jasad itu. Di pusat-pusat syaraf dan persendian dari jasad itu diisi dengan kwangen sebagai lambang Tri Murti, lambang hidup, yaitu bayu, sabda, dan idep.

Sebelum dibakar jasad akan dipindahkan dari wadah ke pemalungan, yaitu tempat pembakaran jenazah yang terbuat dari batang pohon pisang ditumpuk berbentuk lembu. Di sanalah dilakukan upacara pembakaran yang merupakan lambang dari pralina (peleburan).

Setelah dibakar, abunya “direka” lagi yaitu dimana tulang atau galih dari jasad yang sudah terbakar itu dikumpulkan kembali. Untuk membedakan abu dari tulang dengan abu dari kayu bakar biasanya digunakan air yang disiramkan pada abu pembakaran yang mana nanti akan jelas tampak abu tulang berwarna putih sementara abu kayu berwarna hitam.

Sebagian dari galih yang sudah dikumpulkan tersebut dikumpulkan dan dibentuk sebagai orang-orangan dan di atasnya diisi kwangen 7 tanding sebagai pengurip-urip (sarana penghidupan). Setelah itu dipuja dan dimantrai lagi oleh Ida Pedanda seolah-olah orang yang mati hidup lagi dalam bentuk yang lebih halus. Setelah itu dipuja dan dimantra kembali untuk dipralina dengan cara menggiling galih tersebut di atas dulang kecil hingga hancur dan halus, kemudian dimasukkan dalam kelapa gading yang dibungkus kain putih dihias dengan bunga dan kwangen sebagai symbol omkara, lambang kehidupan, yaitu bayu, sabda, dan idep.

Tahap selanjutnya adalah mempralina kembali dengan cara menghanyutkan kelapa gading tersebut ke laut.


3 comments:

Anonymous said...

saya putu choni,

saya senang sekali atas paparan mengenai ngaben , ini membuat kita mengerti makna ngaben tersebut. saya minta pendapat anda, mengenai upacara yang dilakukan umat Hindu di Bali khususnyamisalnya Ngaben identik dengan biaya yang harus besar. apakah ini sebuah pembodohan yang didasari oleh paham " mule keto dan kone" alias gugon tuwon. Kalau saya amati dibeberapa tempat karena tututan upacara harus menghadap kanan dan kiri alias " adep tanah waris" lalau bagaimana nanti generasi kita ?

Anonymous said...

Halo Pak Putu Choni,menurut pendapat saya, pada dasarnya ngaben adalah sebuah proses "pengembalian ke asal" yang sederhana.Hanya saja,ada beberapa orang yang masih memikirkan gengsi atau prestise, karena itulah mereka membuat upacara ini semegah mungkin.Masyarakat lain yang kurang mampu merasa malu jika tidak bisa membuat upacara yang semegah itu, jadilah mereka menjual tanah warisan hanya untuk "mengembalikan sanak keluarga mereka ke asalnya".
Bukan bade atau wadah yang akan mengantar kita pada tuhan. Bukan pula sesajen lengkap yang mewah.Yang mengantarkan kita ke sana adalah perbuatan kita. Semisal kita adalah pembunuh atau pencuri, apa hanya dengan upacara mewah kita lantas pergi ke surga? Tentu tidak!!
Bagi saya, upacara kremasi sederhana seperti di India yang hanya mengumandangkan mantra2 terasa jauh lebih berguna dibandingkan kita yang melakukan upacara mewah tanpa tau maknanya.

Agung said...

menurut saya,org mati/mayat itu sebenernya sudah nggak ada fungsi apa apa.Kalo mau di kubur juga gpp mau di bakar juga gpp.saya stuju dgn pendapat bahwa yg akan menghantar kita ke surga itu adalah amal perbuatan kita,bukan ngaben atau upacara yg mewah2 spt ini!!Ngaben dgn biaya besar, bagi saya sungguhlah suatu pemborosan dan lebih akan bermakna jika uang biaya ngaben tsb di sumbangkan kepada panti2 asuhan atao lembaga2 sosial yang bener2 sedang membutuhkan biaya.Yang berikutnya ada statement bahwa ngaben merupakan perwujudan rasa hormat atao trimakasih kita terhadap orang tua kita.Perlu di cermati betul2 rupanya statement spt ini.Penghormatan terhadap org tua layaknya di lakukan ketika org tua kita masih hidup yaitu dgn cara memenuhi kebutuhan hidupnya,memberi tempat tinggal yang layak,menyayangi,merawat jika sakit,memelihara segala bentuk yg di wariskan olehnya serta hal2 lain yang baik sebagai wujud hormat bakti kita terhadap org tua,bukanya ngaben dgn besar2an degn biaya tinggi yang akhirnya menyusahkan kita beserta keturunan kita!!Marilah kita sebagai generasi muda bali,mulai sedikit berpikir rasio dan realistis mencermati segala bentuk kegiatan adat yg notabena berlandaskan ajaran HINDU,marilah kita gali lebih dalam nilai-nilai hindu yang sebenarnya agar kita selaku generasi muda tidak hanya menjalankan ajaran NAK MULE KETO dan tentunya hanya menguntungkan pihak2/golongan tertentu saja dalam hal melakukan yadnya ini.Ingat sing kene sing keto kita semua adalah manusia biasa tidak ada yang punya derajat lebih tinggi dan lebih rendah semua berhak menentukan jalan hidupnya masing2 sesuai kaedah hukum agama dan negara.Ayo generasi muda Bali bangkitlah!!! SUKSMA